PENCHARTERAN KAPAL
Dosen
Pengampu :
Hotmanahan
Sihombing, S.E.,M.AP
Diajukan Kepada Akademi Pelayaran
Nasional Surakarta
UntukMemenuhi
Salah Satu Tugas Pencharteran Kapal
Disusun
Oleh :
Nama :ROBBY SEPTYO HERMAWAN
N I T : K.15.471
Tingkat/ Kelas : II/B
PROGRAM
STUDI KETATALAKSANAAN PELAYARAN NIAGA
AKADEMI
PELAYARAN NASIONAL
SURAKARTA
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Pencharteran
Kapal
Terima kasih sebesar-besarnya kepada
guru pembimbing mata kuliah Pencharteran
Kapal yang telah menuntun kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dari penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran membangun dari para pembaca akan kami terima
dengan senang hati.
Semoga para pembaca dapat
memanfaatkan makalah ini sebagai penambah pengetahuan mengenai Pencharteran Kapal yang ada di
dunia serta demi bertambahnya wawasan bersama.
Surakarta
10-07-2017
Penyusun
Robby Septyo
Hermawan
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................
1) Latar
belakang...............................................................................................
2) Rumusan Masalah........................................................................................
3) Tujuan ...........................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................
1)
Pengertian Charter Party......................................................................
2)
Dasar-Dasar Charter Party...................................................................
3 Jenis-Jenis Charter Party......................................................................
4) Syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh Pemilik Kapal......................................
5)
Para Pihak yang terlibat dalam
Perjanjian Charter kapal...............
6) Berakhirnya
Perjanjian Charter Kapal..............................................
7) Istilah-Istilah
Charter Party.................................................................
8) Dokumen-Dokumen Baku....................................................................
9) Penggabungan Ketentuan Charter Party
dalam B/L.......................
BAB III PENUTUP........................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................
1) .Kesimpulan...........................................................................................
2) Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang Masalah
Keadaan
geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
pulau- pulau yang memiliki posisi yang sangat strategis serta penting
dalam dunia internasional. Penguasaan perairan nusantara diperlukan guna
menyokong kegiatan perdagangan barang maupun jasa, serta pengangkutan
pengiriman barang baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional yang
terjadi dalam dunia bisnis yang berkembang dengan pesat saat ini. Oleh karena
itu, dibutuhkan sarana pengangkutan yang memadai guna memenuhi kebutuhan
mobilitas dalam rangka pemerataan dan peningkatan perekonomian, serta
memperkukuh keutuhan bangsa Indonesia. Maka, pelayaran sebagai sarana
pengangkutan melalui perairan (laut) harus ditata atau dikelola secara efektif
dan efisien. Pengangkutan laut memiliki peranan yang penting dalam perdagangan
khususnya dalam sektor perdagangan internasional.Faktor ini didasarkan data
statistik bagi negara-negara maritim, barang impor dan ekspor lebih kurang 70% dari
total komoditi diangkut melalui laut.Kegiatan penyelenggaraan pengangkutan laut
internasional dapat dilakukan sendiri oleh pemilik kapal atau bisa dilakukan
oleh pencarter kapal yang telah melakukan perjanjian pencarteran kapal.
Pemilik kapal (shipowner ) dapat mencarterkan kapal yang dimiliki kepada
pencarter kapal (charterer )dengan berbagai ketentuan yang dicantumkan
dalam bentuk perjanjian carter kapal (charterparty). Dengan kata lain,
perjanjian carter kapal merupakan perjanjian mengenai penggunaan kapal itu
sendiri, dan bukan sebagai perjanjian pengangkutan barang seperti halnya
konosemen (bill of lading ). Kedua jenis perjanjian ini saling berkaitan,
tergantung perjanjian yang dibuat para pihak dalam suatu pengangkutan
barang melalui laut. Adapun contoh perjanjian carter kapal adalah
perjanjian carter perjalanan, perjanjian carter waktu dan perjanjian
carter demise/bareboat
Perjanjian
carter perjalanan merupakan perjanjian carter kapal dalam bentuk formal dan
tertulis yang memperjanjikan kapal untuk melakukan hanya satu perjalanan
beserta ketentuan-ketentuan lain bagi para pihak dalam perjanjian.Perjanjian
carter waktu pada dasarnya sama merupakan bentuk formal tertulis, namun dibuat
untuk penggunaan kapal pada waktu tertentu,sedangkan perjanjian demise/bareboat
merupakan perjanjian untuk penggunaan kapal saja. Dalam dunia
pengangkutan laut internasional, terdapat beberapa konvensi-konvensi dan
prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional. Ketentuan-ketentuan
ini harus dituruti oleh pihak-pihak yang melakukan pengangkutan laut
dalam skala internasional yang menembus lintas batas negara. Salah satu
konvensi yang mengatur mengenai pengangkutan laut yaitu :Protocol to Amend the
International Convention for the Unification of Certain Rules of Law
Relating to Bills of Lading,
Ditandatangani
di Brussel pada Februari1968
(selanjutnya akan disebut dengan
Hague Visby
Rules ).
2.Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka penulis mempunyai beberapa
pokok
permasalahan sebagai berikut:
·
Asal Mula Timbulnya Charter Party?
·
Bagaimana pelaksanaan perjanjian carter kapal?
·
Apa Dasar-dasar hukum dalam Pencharteran Kapal?
·
Bagaimana cara penyelesaian apabila terjadi sengketa
dalam charter party?
·
Apa Istilah-istilah yang digunakan dalam Charter
Kapal?
3.Tujuan
·
Untuk
mengetahui perencanaan pemuatan yang efektif dan efisien.
·
Untuk
mengetahui realisasi pemuatan dan pengembangan SDM yang professional.
·
Untuk
mengetahui perencanaan pemuatan dengan realisasi pemuatan pada Charter Party
yang bertanggung jawab
BAB
II
PEMBAHASAN
1.Pengertian Charter
Party
Didalam
dunia perhubungan laut, untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan
pengangkutan diperlukan suatu sarana penunjangnya, yaitu sarana kapal.
Salah satu penyelenggaraan angkutan laut adalah dengan mengadakan suatu
perjanjian yang di namakan perjanjian carter kapal. Mengenai pencarteran kapal
itu sendiri adalah :“ penggunaan /pengoperasian kapal milik orang lain, yang
sudah di perlengkap dengan alat perlengkapan kapal beserta pelautnya, yang siap
untuk menjalankan kapal sesuai dengan intruksi pencarter “Mengenai perjanjian
carter kapal ini dapat di perhatikan pengertian pengertian di bawah ini.Oleh
H.M.N. Purwosutjipto mengartikan
Carter kapal
adalah suatu perjanjian timbal balik antara tercarter (Vevrater) dengan
pencarter (Bevrachter), dengan mana tercarter mengikatkan diri untuk
menyediakan kapal lengkap dengan perlengkapan serta pelautnya untuk kepentingan
pencarter, dan si pencarter mengikatkan diri untuk membayar uang Charter
(Charterprijs)”. Sedangkan dalam pasal 453 ayat (1) kitab UU Hukum Dagang
dinyatakan bahwa “yang namakan pencarteran kapal ialah carter menurut waktu dan
carter menurut perjalanan“.Dari beberapa pengertian perjanjian carter
kapal yang dikemukakan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
pengertian perjanjian carter kapal adalah menggambarkan sifat perjanjian carter
kapal yang timbale balik antara pihak tercarter dan pihak pencarter untuk
menyediakan kapal lengkap dengan perlengkapannya serta pelautnya. Sedangkan
pihak pencarter mengikatkan diri untuk membayar uang carter atas penggunaan
kapal untuk pengankutan barang-barang atau tujuan lain yang sah.Dipikul sendiri
oleh pencarter apabila pekerjaan di kerjakan sendiri oleh pencarter, dan
sebaliknya jika dipersiapkan oleh tercharter.
2.Dasar-Dasar Hukum Charter
Sebagaimana
diketahui bahwa setiap kegiatan atau perbuatan yang dilakukan di tanah air
Republik Indonesia ini mempunyai dasar-dasar hokum yang dijadikan tuntutan
untuk pelaksanakan kegiatan tersebut. Adapun yang dijadikan dasar hokum
perjanjian carter kapal adalah Kitab UU Hukum Dagang, yang diatur mulai dari
pasal 453 sampai dengan pasal 565.
Pasal -pasal tersebut secara umum isinya adalah sebagai berikut :
a)
Pada pasal 453 mengatur mengenai perjanjian pencarter
kapal secara umum dan membedakan perjanjian carter kapal itu atas 2 (dua)
jenis, yaitu perjanjian carter kapal menurut perjalanan dan perjanjian carter
kapal menurut waktu.
b)
Pasal 454 mengatur tentang perlu adanya akta dalam
suatu perjanjian carter kapal.
c)
Pasal 455 sampai dengan pasal 459 mengatur tentang hak
dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian carter kapal.
d)
Pasal 460 sampai dengan pasal 462 mengatur tentang
perjanjian carter kapal menurut perjalanan.
e) Kemudian pada pasal 463 sampai
dengan pasal 465 mengatur tentang perjanjian carter kapal menurut waktu
3.Jenis-Jenis Charter
Party
1)Bareboat Charter
Bareboat
Charter adalah suatu sistem sewa menyewa kapal, dimana pihak pemilik kapal, menyerahkan
kapal dalam keadaan kosong, tanpa ABK tetapi lengkap dengan segel
sarana/peralatan dan perlengkapan kapal untuk berlayar secara aman, setelah
menerima uang sewa( Hire Rate) dari pihak penyewa ( Charterer)
2)Time Charter
Time Charter
adalah system penyewaan kapal antara pemilik kapal ( Ship’s Owner) dengan
Penyewa (Charterer) yang di dasarkan pada jangka waktu (lamanya penyewaan) yang
di setujui bersama oleh kedua belah pihak.
3) Trip Time Charter
Bilamana
kapal dicharter untuk satu kali atau lebih pelayaran, tetapi Charter Fee
berdasarkan kepada waktu, maka jenis charter ini disebut TripTime
Charter.Charter dapat menjadi Carrier atas barang-barang pihak krtiga dan dapat
pula menyewakan kapal yang disewanya kepada pihak ketiga(Recharter/Subject Charter),
baik secara Time Charter atau Voyage Charter. Sebagaimana ketentuan yang
berlaku untuk Bareboat Charter, juga dalam Time Charter dan Trip Time Charter
berlaku ketentuan “Lawfull Trade In Carrying Lawfull M
erchandise”,artinya
kapal boleh dipergunakan untuk pelayaran yang sah dan untuk mengangkut barang
yang sah pula.
4) Voyage
Charter
Voyage
Charter adalah perjanjian penyewaan kapal berdasarkan perjalanan tertentu,
dimana pemilik kapal atau pengangkut memberikan layanan pengangkutan barang
dengan kapal dalam satu atau beberapa pelayaran yang sudah tertentu. Penyewa
berkewajiban untuk menyampaikan barang dan membayar uang sewa yang biasanya
diperhitungkan berdasarkan jumlah barang yang dimuat atau diangkut atau
dapat juga berdasarkan borongan.Pada setiap perjalanan sesuai jumlah
barang yang telah diserahkan, jika dikehendaki oleh penyewa atau pemilik
barang, pengangkut harus mengeluarkan konosemen atau Bill Of Loading.
5)Trip Voyage Charter
Bila kapal disewa secara charter untuk
pelayaran dari satu/beberapa pelabuhan pemuat (Loading Port) kesatu/beberapa
pelabuhan pembongkaran (Discharging Port), tetapi hanya untuk satu trip dan
sewa kapal didasarkan kepada banyaknya barang yang dijanjikan,jenis charter ini
disebut Trip Voyage Charter. Charter dalam bentuk Voyage Charter
dan Trip Voyage Charter dapat bertindak sebagai Carrier atas barang-barang
pihak ketiga sebagai Disponent Owner, dan dapat menyewakan kapal tersebut
kepada pihak ketiga, tetapi hanya untuk trayek yang disebut didalam C/P. Pada
umunnya jenis Voyage Charter digunakan oleh pengusaha dalam transaksi jual
brli antar pulau (Inter Island/Interinsuler) di dalam Negeri, dapat pula
digunakan untuk pelayaran antar Negara (Ocean Going) untuk transaksi jual
beli komoditi berdasarkan Free On Board (F.O.B) Cost & Freight ( C&F)
atau Cost Insurance & Freight (C.I.F)
6)Bert Charter
Bert Charter dipergunakan jika tidak
dapat ditentukan dengan pasti jenis dan banyaknya koli barang yang akan
di angkut. Jenis dan banyaknya koli disebut sewaktu kapal dilayari di Dermaga
(On The Berth), yaitu pada waktu pemuatan berlangsung. Bilamana Charter tidak
berhasil mengisi ruang kapal sesuai yang dijanjikan, maka dia dikenakan
DeadFreight. Dalam prakteknya Berth Charter jarang digunakan.
7)Dead Weight
Charter
Tidak ada
bedanya dengan Voyage Charter, apakah Charterer berhasil mengisi ruangan kapal
hingga sarat (Full and Down ) atau tidak, sewa Charter tetap sebesar yang telah
dijanjikan.
8)Gross Charter
Untuk jenis
Charter ini, didalam C/P ditetapkan bahwa semua biaya kapal di Pelabuhan
termasuk Disbursement Account, biaya B/M (Stevedoring), tali dan sebagainya,
menjadi beban Ship Owner. Namun biaya-biaya tersebut oleh Ship Owner akan
diperhitungkan dalam waktu menentukan Charter Fee.
9)Net Charter
Jenis
Charter ini merupakan kebalikan dari Gross Charter, yaitu biaya-biaya
sebagaimana dijelaskan pada Gross Charter menjadi beban Charterer. Biaya-biaya
yang menjadi beban Ship Owner hanyalah biaya tetap kapal (Fix Cost) dan bbm
(Bunker)
10)Clean Charter
Pada Charter
ini, pemilik kapal hanya memikul komisi untuk Chartering Brokers (Brokerage)
dan tidak dibebani komisi-komisi lain.Misalnya Address Commission. Address
Commission merupakan suatu Return Commission yang diberikan oleh Ship Owner
kepada Charterer atas uang tambang (Sea Freight) yang dibayarnya. Jadi
merupakan rabat atau potongan atau diskon yang besarnya + 2,5% dari uang
tambang bersih. Dalam transaksi pembelian barang atas dasar F.O.B pembeli
merupakan Charterer, sehingga dialah yang menerima komisi tersebut. Sedangkan
atas dasar C&F / C.I.F penjual yang merupakan Charterer, sehingga dialah
yang berhak menerima komisi tersebut. Nam
un apabila
dalam C/P dipergunakan syarat “Free Of Address” maka Ship Owner tidak membayar
address comissions kepada charterer
4. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh Pemilik Kapal
Dalam
kegiatan mencharter kapal adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh
pemilik kapal antara lain adalah :
·
Usia kapal
dan GRT
·
Maksud
penentuan usia kapal dan GRT adalah untuk menyesuaikan dengan persyaratan
dari perusahaan asuransi ( muatan )
·
Kapal layak
laut baik fisik maupun dokumen
·
Dalam hal
fisik dilihat secara visual
·
Dokumen
dicek validitas dokumen dan kelengkapan dokumen
·
Kapasitas
derik
·
Tipe palka (
Singel Deck)
·
Tipe tutup
palka kapal (MC Gregor atau Rolling Type)
·
Draft
Maximum
·
Klasifikasi
( BKI: Biro Klasifikasi Indonesia)
·
Kecepatan
kapal
·
Grain
capacity ( ruang muat untuk barang-barang curah)
·
Bale
capacity ( ruang muat untuk barang dalam kantong/bags)
5.Para Pihak yang
terlibat dalam Perjanjian Charter kapal
Para pihak dalam suatu perjanjian
disebut subjek, yaitu siapa -siapa yang terlibat dengan diadakannya perjanjian
subjek harus mampu atau wenang untuk melakukan perbuatan hokum yang ditetapkan
oleh UU.Dengan demikian, disamping manusia perorangan, badan hukum juga dapat
bertindak dalam hokum dan mempunyai hak -hak, kewajiban dan perhubungan
hokum terhadap orang lain arau badan lain.Artinya badan hukum adalah turut
serta dalam pergaulan hidup masyarakat yang meliputi perbuatan
pembeli.Sehubungan dengan itu, dalam perjanjian carter kapal di kota jambi,
para pihak yang terikat di adakannya perjanjian tersebut adalah pihak tercarter
(shipowners) suatu puak yang mencarterkan kapal, yang dalam prakteknya pihak
tercarter ini adalah perusahaan pelayaran disatu pihak denga pihak pencarter
selaku pihak pemakai jasa angkutan. Disamping itu, didalam perjanjian carter
kapal yang diadakan antara pihak tercarter denga pencarter (pemakai jasa
angkutan) terdapat pula beberapa orang yang bukan merupakan pihak dalam
perjanjian, tetapi mempunyai peranan yang sangat penting untuk memulai
mengadakan perjanjian carter kapal. Orang orang ini disebut dengan pihak perantara
atau wakil masing masing pihak tercarter maupun dari pihak pencarter.
6.Berakhirnya
Perjanjian Charter Kapal
Selain itu
pihak perjanjian carter juga dapat berakhir pada saat tertentu yang disebabkan
oleh sesuatu hal di luar apa yang telah di janjikan bersama. Berkenaan dengan
ini, pasal 462 sampai dengan pasal 465 kitab UU Hukum Dagang menentukan
mengenai berakhirnya perjanjian carter kapal, yaitu :
·
Perjanjian carter kapal berakhir, bila kapalnya musnah
(Pasal 462 ayat (1))
·
Bila kapal itu hilang, perjanjian carter kapal
berakhir pada saat penerimaan kabar terakhir mengenai kapal yang bersangkutan
(Pasal 462ayat (2))
·
bila kapalnya
tidak dapat di pakai akibat adanya kerusakan tidak di lengkapi secara bail,
tidak di lengkapi dengan awak kapal yang cukup, maka selama kapal itu tidak
dipakai, uang carter tidak perlu di bayar (Pasal 462 ayat (2))
·
Apabila uang carter tidak di bayar pada waktu yang
telah ditentukan, maka tercarter dapat menghentikan perjanjian carter itu
dengan lebih dahulu memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pencarter
(Pasal 463)
·
Apabila karena sesuatu tindakan atasan atau karena
pecahnya perang, perjanjian carter menjadi terhalang pelakanaanya dan belum
dapat ditentukan kapan perjanjian dapat dilaksanakan, maka baik pencarter
dan tercarter dapat mengakhiri perjanjian carter itu dengan cara
memberitahukan masing masing kepada lawannya. Yang di maksud Pada(Pasal 464)
·
Apabila kapalnya sedang ada di tengah lautan, memuat
barang -barang atau orang- orang dalam hal sebagaimana di maksud dalam
huruf 5 tersebut di atas, maka kapal di wajibkan menuju kepelabuhan terdekat
dan aman (Pasal 465)
Meskipun
begitu, bila terjadi hal seperti di maksudkan dalam pasal 463 dan 464,
sedangkan kapal dalam keadaan memuat barang -barang atau penumpang, maka uang
carter tersebut harus di bayar sampai dengan hari di bongkarnya muatan atau
diturunkan penumpang tersebut
7.Istilah-Istilah
Charter Kapal
· Always
safely afloat, untuk mencegah kapal dikirim ke tempat yang tidak aman
(dangkal);
· Arrived
ship, jika kapal telah tiba di tempat bongkar - muat, siap dan para pengirim /
penerima barang diberitahu serta laydays menurut C/P mulai berlaku;
· Berth charter, kapal
dicharter untuk pemuatan “on the bearth” (tempat standar kapal);
· Certificate of delivery / redelivery, dokumen yang ditanda - tangani oleh nakhoda / pemilik kapal yang
mencantumkan tanggal penyerahan dan sisa bahan bakar;
· Clean charter, dimaksudkan
untuk C/P yang tidak mencantumkan hal-hal yang luar biasa (unusual terms);
· Consignment clause, penunjukan
agen pemilik atau agen pencharter yang mengurus “inward and outward business”;
· Convenient sped, dalam voyage
charter untuk menghilangkan kontroversi mengenai kecepatan kapal selama
pelayaran;
· Custom of the port, nakhoda
memperhatikan k~biasaan setempat;
· Deadfreight, uang tambang
yang dibayar untuk muatan yang tidak dikapalkan;
· Notice of readiness, informasi
dari nakhoda untuk pencharter bahwa kapal siap untuk memulai pemuatan /
pembongkaran;
· On hire survey - Off hire survey, dalam time charter sebagai syarat untuk penyerahan kapal dalam keadaan yang
baik (good order and condition);
· Open charter, suatu CIP
yang tidak mencantumkan jenis muatan maupun pelabuhan tujuan;
· Prompt ship, kapal yang
siap untuk membuat dalam jangka waktu yang relatif singkat;
· Safe berth - safe port, tempat yang
dapat didatangi dengan aman dari segi nautis;
· Subletting, pihak pencharter diberikan hak
untuk melakukan re - charter, namun tetap bertanggung-jawab kapada nautis;
8.Dokumen - Dokumen Baku
Formulir-formulir
dalam time charter merupakan dokumen-dokumen yang telah mendapatkan
persetujuan Chamber of Shipping, adalah
·
The Baltic and
Internasional Maritime Conference - Uniform Time Charter (London) dengan nama
singkatan / kodc Baltime, yang mengutamakan kcpentingan para pemilik
kapal;
·
Time Charter
Government Form yang disetujui olch The New York Produce Exchange (New York)
dengan nama singkatan / kode Prodllce yang menyesuaikan diri dengan
situasi perdagangan sehingga para pedagang cenderung memilih dokumen ini.
Formulir-formulir
dalam voyage charter yang merupakan dokumen-dokumen yang telah disetujui
oleh Chamber of Shipping (Inggris) dan juga oleh Internasional Maritime
Conference, adalah :
·
Uniform
General Charter Party dengan nama kode Gencon, khusus untuk pengangkutan
general cargo
·
Australia
Grain Charter Party dengan nama kode Austral digunakan untuk
pengangkutan gandum dari Australia.
9.Penggabungan Ketentuan Charter Party dalam Bill of Lading
Ada dua cara dalam menggabungkan
ketentuan syarat dan pengecualian charter party dalam Bill of Lading yaitu
melalui klausula yang berhubungan erat (germane) dan klausula yang tidak
berhubungan erat (not so germane) dengan pengangkutan. Hal ini digambarkan oleh
Lord Denning dalam pertimbangannya pada pengadilan banding dalam perkara The
Annefield sebagai berikut:
“I would say that a clause which
directly germane to the subject matter of the bill of lading (that is, to the
shipment, carriage, and delivery of goods) can should be incorporated into bill
of lading contract, even though it may involve a degree of manipulation of word
in order to fit exactly the bill of lading. But if the clause is one which is
not thus directly germane, its should not be incorporated into bill of lading
contract unless it is done explicitly in clear word either in bill of lading or
in charter party”
Mengacu pada hal diatas, hanya
klausula yang mengatur kegiatan pendukung pengangkutan yang dapat digabungkan
dalam ketentuan umum dalam B/L. Sejauh ini penggabungan ketentuan Charter Party
dalam B/L dilakukan hanya bagi klausula yang terkait dengan pengangkutan
barang.
Walaupun demikian, adalah
penting untuk membedakan klausula yang menentukan lingkup kontrak dan yang
menentukan lingkup tanggung jawab. Pasal 3 ayat 8 Hague Rule menentukan batal
demi hukum dan tidak mengikat bagi setiap klausula yang tanggung jawabnya
kurang dari apa yang ditentukan dalam konvensi tersebut. Dalam lingkup hukum
Indonesia, kondisi ini juga mungkin terjadi mengingat sesuai Pasal 1339 KUH
Perdata suatu perjanjian tidak hanya mengikat mengenai hak dan kewajiban yang
ditimbulkan, tapi juga tentang hal-hal yang menurut hukum, kepatutan dan
kebiasaan harus dilaksanakan. Berdasarkan hal diatas suatu perjanjian yang
tidak sesuai dengan ketentuan hukum, kepatutan dan kebiasaan dapat terancam
batal.
Dalam lingkup hukum Indonesia
penggabungan ketentuan dalam charter party pada B/L akan sulit dilakukan bila
ternyata sejak awal perjanjian tersebut tampil dalam bentuk baku dan disepakati
secara terpisah, mengingat dalam Pasal 1340 KUH Perdata, terdapat pembatasan
bahwa suatu pihak hanya terikat pada isi perjanjian yang dibuatnya, sehingga
tidak mungkin digabungkan begitu saja tanpa ada persetujuan lebih dulu dari
para pihak tersebut, kondisi ini akan lebih sulit bila antara B/L dan charter
party pihaknya berbeda, apalagi bila tidak dibuktikan dengan persetujuan
masing-masing pihak dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Namun hal dapat
dilakukan bila B/L dalam pembuatannya sudah menggabungkan ketentuan-ketentuan
dalam charter party.
BAB
III
PENUTUPAN
1.Kesimpulan
Tentang
kemungkinan bahwa dalam perjanjian carter kapal itu dapat di adakan oleh masing
masing pihak yang merupakan perwakilan dengan izin masing -masing pihak, baik
izin dari pihak tercarter maupun izin dari pihak pencarter. Dapat ditemui dalam
pasal 455 Kitab UU Hukum Dagang, yang menyebutkan“
Barang siapa
mengadakan perjanjian kapal untuk orang lain, bagaimanapun ia terhadap pihak
yang lain terikat karenanya, kecuali bilamana ia pada pembuatan
perjanjian berbuat dalam batas kuasanya dan menyebutkan pemberi
kuasanya.Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 455 Kitab Undang
-undang Hukum dagang tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa perantara atau
wakil wakil dan masing masing pihak dalam perjanjian carter kapal adalah
bertindak hnya sebagai perantara atau wakil pihak dalam perjanjian carter
kapal.Terhadap semua perantara atau wakil wakil yang bekerja untuk masing
masing pihak, mereka memperoleh komisi dari masing - masing pihak yang
diwakilinya setelah mereka menyelesaikan tugas -tugasnya.
2.Saran
Dalam penulisan diatas dijelaskan berbagai
pengetahuan tentang pencharteran kapal tetapi banyak yang belum mengerti dalam
melakukan charter kapal alangkah baiknya sebelum mengimplementasikannya ke
lapangan mahasiswa/orang yang akan melakukan charter harus mengerti dan paham
betul dalam melakukan charter kapal dengan melakukan seminar-seminar ataupun
pelatihan/diklat yang diawasi langsung oleh badan hukum atau pelaku usaha yang
sudah berpengalaman dengan begitu dalam mengimplementasikan pencharteran kapal
dapat memperkecil resiko-resiko yang tidak diinginkan dan tidak terjadinya
kerugian.
DAFTAR
PUSAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar